ASUHAN
KEPERAWATAN KRITIS II PADA
PASIEN DENGAN LUKA BAKAR
PROGRAM S1
ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS
KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2013
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Penanganan
dan perawatan luka bakar sampai saat ini masih memerlukan perawatan yang
kompleks dan masih merupakan tantangan bagi kita, karena sampai saat ini angka
morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi. Di Amerika dilaporkan sekitar 2
sampai 3 juta penderita setiap tahunnya dengan jumlah kematian sekitar 5-6 ribu
kematian/tahun. Di indonesia sampai saat ini belum ada laporan tertulis
mengenai jumlah penderita luka bakar dan jumlah angka kematian yang
diakibatkannya. Di unit luka bakar RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada
tahun 1998 dilaporkan sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat, dengan angka
kematian 37,38%. Di unit Luka bakar RSU Dr. Soetomo surabaya jumlah kasus yang
dirawat selama satu tahun (Januari 2000 sampai Desember 2000) sebanyak 106
kasus atau 48,4% dari seluruh penderita bedah plastik yang dirawat yaitu
sebanyak 219, jumlah kematian akibat luka bakar sebanyak 28 penderita atau
sekitar 26,41% dari seluruh penderita luka bakar yang dirawat, kematian umumnya
terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50% atau pada luka bakar yang
disertai cedera pada saluran nafas dan 50% terjadi pada 7 hari pertama
perawatan (Noer, 2006).
1.2
Tujuan
1.2.1
Tujuan umum
Mahasiswa
mampu menyusun dan menjelaskan asuhan keperawatan kritis klien pada luka bakar
dengan pendekatan proses keperawatan.
1.2.2
Tujuan khusus
- Mengetahui definisi luka bakar.
- Mengetahui etiologi luka bakar.
- Mengetahui patofisologi dan efek patofisiologi luka bakar
- Mengetahui fase, kedalaman, luas dan berat ringanya luka bakar
- Mengetahui penatalaksanaan luka bakar
- Mengetahui rencana asuhan keperawatan kritis pada klien dengan luka bakar.
BAB 2
KONSEP TEORI
LUKA BAKAR
2.1
Definisi
Luka bakar
adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan
petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Musliha,
2010).
2.2
Etiologi
Menurut
Rahayuningsih (2012), etiologi luka bakar antara lain :
- Luka bakar suhu tinggi (thermal burn)
Luka bakar
thermal disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan panas
dan bahan padat (solid).
- Luka bakar bahan kimia (Chemical burn)
Luka bakar
kimia disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam atau basa kuat.
Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang terpapar
menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. luka bakar kimia dapat terjadi
misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering digunakan untuk
keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang
industri, pertanian dan militer. Lebih dari 25.000 produk zat kimia diketahui
dapat menyebabkan luka bakar kimia.
- Luka bakar sengatan listrik (Electrical burn)
Lewatnya
tenaga listrik bervoltase tinggi melalui jaringan menyebabkan perubahannya
menjadi tenaga panas, ia menimbulkan luka bakar yang tidak hanya mengenai kulit
dan jaringan sub kutis, tetapi juga semua jaringan pada jalur alur listrik
tersebut. Luka bakar listrik biasanya disebabkan oleh kontak dengan sumber
tenaga bervoltase tinggi. Anggota gerak merupakan kontak yang terlazim, dengan
tangan dan lengan yang lebih sering cedera daripada tungkai dan kaki. Kontak
sering menyebabkan gangguan jantung dan atau pernafasan, dan resusitasi
kardiopulmonal sering diperlukan pada saat kecelakaan tersebut terjadi. Luka
pada daerah masuknya arus listrik biasanya gosong dan tampak cekung.
- Luka bakar radiasi (Radiasi injury)
Luka bakar
radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injury ini
seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari
sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terpapar oleh
sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe
luka bakar radiasi.
2.3
Patofisiologi Luka Bakar
Kulit adalah
organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025 m2 pada anak baru lahir sampai 2
m2 pada orang dewasa. Apabila kulit terbakar atau terpajan suhu tinggi.
Pembuluh kapiler dibawahnya, area sekitar dan area yang jauh sekalipun akan
rusak dan menyebabkan permeabilitasnya meningkat. Terjadilah kebocoran cairan
intrakapiler ke interstisial sehingga terjadi oedema dan bula yang mengandung
banyak elektrolit. Rusaknya kulit akibat luka bakar akan mengakibatkan
hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan penahan penguapan.
Kedua
penyebab diatas dengan cepat menyebabkan berkurangnya cairan intravaskuler.
Pada luka bakar yang luasnya kurang dari 20%, mekanisme kompensasi tubuh masih
bisa mengatasinya. Bila kulit yang terbakar luas (lebih dari 20%), dapat
terjadi syok hipovolemik disertai gejala yang khas, seperti gelisah, pucat,
dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi
urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan, maksimal terjadi setelah delapan
jam.
Pembuluh
kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permebilitas meninggi. Sel darah
yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia.
Pada
kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi diwajah, dapat terjadi
kerusaakan mukosa jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnoe, stridor,
suara parau, dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.
Dapat juga
terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. Karbon monoksida sangat kuat
terikat dengan hemoglobin sehingga hemoglobin tidak lagi mampu mengikat
oksigen. Tanda keracunan ringan yaitu lemas, binggung, pusing, mual dan muntah.
Setelah
12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta
penyerapan kembali cairan dari ruang intertisial ke pembuluh darah yang
ditandai dengan meningkatnya diuresis.
Luka bakar
umumnya tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati yang merupakan medium yang
baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi
karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis.
Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman
penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari kulit penderita sendiri,
juga kontaminasi dari kuman saluran nafas atas dan kontaminasi kuman di
lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial biasnya sangat berbahaya karena
kumanya banyak yang Sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.
Pada
awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kuman gram positif yang berasal dari
kulit sendiri atau dari saluran napas, tapi kemudian dapat terjadi infasi kuman
gram negatif. Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin
protease dan toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya
pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa
penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng yang bersama
dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah.
Infeksi
ringan dan noninvasif (tidak dalam) ditandai dengan keropeng yang mudah lepas
dengan nanah yang banyak. Infeksi yang infasive ditandai dengan keropeng yang
kering dengan perubahan jaringan keropeng yang mula-mula sehat menjadi
nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat dua menjadi derajat
tiga. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan
yang terbakar dan menimbulkan trombosis.
Bila
penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat dua dapat sembuh dengan
meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen
epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel
keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat dua yang dalam mungkin
meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku, dan secara ekstetik sangat
jelek.
Luka bakar
yang derajat tiga yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila
ini terjadi di persendian; fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
Stres atau
beban faali serta hipoperfusi daerah splangnikus pada penderita luka bakar
berat dapat menyebabkan terjadinya tukak dimukosa lambung atau duedonum dengan
gejala yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal dengan tukak
Curling atau stress ulcer. Aliran darah ke lambung berkurang, sehingga
terjadi iskemia mukosa. Bila keadaan ini berlanjut, dapat timbul ulkus akibat
nekrosis mukosa lambung. Yang dikhawatirkan dari tukak Curling ini adalah
penyulit perdarahan yang tampil sebagai hematemisis dan melena.
Fase
permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein
menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme
tinggi, dan mudah terjadi infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak
juga memerlukan kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini
terutama didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu,
penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun.
Kecatatan akibat luka bakar inisangat hebat, terutama bila mengenai wajah.
Penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat akibat cacat tersebut, sampai
bisa menimbulkan gangguan jiwa yang disebut schizophrenia postburn. (Sjamsuhidajat,
dkk, 2010).
2.4
Efek patofisiologi luka bakar
Menurut
Pujilestari (2007), efek patofisiologi luka bakar antara lain :
- Pada kulit
Perubahan
patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar tergantung
pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller burn),
respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang mengalami injuri.
Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas 25% dari total permukaan tubuh (TBSA:
total body surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap
injuri dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luas injuri. Injuri luka bakar
yang luas dapat mempengaruhi semua sistem utama dari tubuh.
Menurut Noer
(2006), Kerusakan jaringan kulit yang diakibatkan luka bakar juga mengakibatkan
proteksi terhadap tubuh terganggu, sehingga terjadi penguapan yang berlebihan.
Pada jaringan kulit normal penguapan terjadi antara 2-20 g/m2/jam atau kurang
dari 40 ml/jam. Penguapan yang terjadi melalui jaringan kulit yang rusak akibat
luka bakar sangat besar, dapat mencapai 140-180 gram/m2/jam. Bahkan pada luka
bakar yang luas, proses eksudasi dan penguapan dapat mencapai 300 ml/jam atau
lebih dari 7 L/hari. Kondisi Evaporative Heat Loss dan jaringan luka
yang terbuka menyebabkan terjadinya kehilangan cairan tubuh yang
berlebihan, karenya perlu memphitungkan InsisibleWater Loss (IWL) lebih
banyak dari biasanya.
Perhitungan
IWL pada penderita lukabakar menggunakan persamaan
IWL = (25+%
LB) x BSA x 24 jam
Dimana :
% LB :
persentasi luas luka bakar
BSA : body
surface area, dihitung menggunakan Chart luas permukaan tubuh
25 merupakan
konstanta
- Sistem kardiovaskuler
Segera
setelah injuri luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (catecholamine,
histamin, serotonin,leukotrienes, dan prostaglandin) dari jaringan yang
mengalami injuri. Substansi-substansi ini menyebabkan meningkatnya
permeabilitas kapiler sehingga plasma merembes ke dalam sekitar jaringan.
Injuri panas yang secara langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan
permeabilitas kapiler. Injuri yang langsung mengenai membran sel menyebabkan
sodium masuk dan potasium keluar dari sel. Secara keseluruhan akan menimbulkan
tingginya tekanan osmotik yang menyebabkan meningkatnya cairan intracelluler
dan interstitial dan yang dalam keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan
volume cairan intravaskuler. Luka bakar yang luas menyebabkan edema tubuh
general baik pada area yang mengalami luka maupun jaringan yang tidak mengalami
luka bakar dan terjadi penurunan sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut
jantung meningkat sebagai respon terhadap pelepasan catecholamin dan terjadinya
hipovolemia relatif, yang mengawali turunya cardiac output. Kadar hematocrit
menigkat yang menunjukkan hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan
intravaskuler. Disamping itu pengeluaran cairan secara evaporasi melalui luka
terjadi 4-20 kali lebih besar dari normal. Sedangkan pengeluaran cairan normal
pada orang dewasa dengan sehu tubuh normal perhari adalah 350 ml.
Keadaan ini
dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ. Jika ruang
intravaskuler tidak diiisi kembali dengan cairan intravena maka syok
hipovolemik dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas dapat
terjadi.
Kurang lebih
18-36 jam setelah luka bakar, tetapi tidak mencapai keadaan normal sampai 2
atau 3 minggu setelah injuri. Kardiak output kembali normal dan kemudian
meningkat untuk memenuhi kebutuhan hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah
luka bakar. Perubahan pada kardiak output ini terjadi sebelum kadar volume
sirkulasi intravena kembali menjadi normal. Pada awalnya terjadi kenaikan
hematokrit yang kemudian menurun sampai dibawah normal dalam 3-4 hari setelah
luka bakar karena kehilangan sel darah merah dan kerusakan yang terjadi pada
waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan edema dan diuresis cairan
dalam 2-3 minggu berikutnya.
- Sistem renal dan gastrointestinal
Respon tubuh
pada mulanya adalah berkurangnya darah ke ginjal dan menurunya GFR (glomerulus
filtration rate) yang menyebabkan oliguri. Aliran darah menuju usus juga
berkurang, yang pada akhirnya dapat terjadi ileus intestinal dan disfungsi
gastrointestinal pada klien dengan luka bakar yang > 25%.
- Sistem imun
Fungsi sitem
imun mengalami depresi. Depresi pada aktifitas lympocyte, suatu penurunan dalam
produksi hemoglobin, supresi aktivitas complement dan perubahan/gangguan pada
fungsi neutrofil dan magrofag dapat terjadi pada klien yang mengalami luka
bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi
dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup klien.
- Sistem respirasi
Dapat
mengalami hipertensi arteri pulmonal, mengakibatkan penurunan kadar oksigen
aretri dan “lung compliance”
1)
Smoke inhalation
Menghisap
asap dapat mengakibatkan injuri pulmonal yang seringkali berhubungan dengan
injuri akibat jilatan api. Keadaan injuri inhalasi ini diperkirakan lebih dari
30% untuk injuri yang diakibatkan oleh api.
Manifestasi
klinik yang diduga injuri inhalasi meliputi adanya LB yang mengenai wajah,
kemerahan dan pembengkakan oropharing atau nasopharing, rambut hidung yang
gososng, agitasi atau kecemasan, takipnoe, kemerahan pada selaput hidung,
stridor, wheezing, dyspnea, suara serak, terdapat carbon dalam sputum, dan
batuk. Bronchoskopi dan scaning paru dapat mengkonfirmasi diagnosis.
Patofisiologi
pulmoner yang dapat terjadi pada injuri inhalasi berkaitan dengan berat dan
tipe asap atau gas yang dihirup.
2)
Keracunan carbon momoxide
CO merupakan
produk yang sering dihasilkan bila suatu substansi organik terbakar. Ia
merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, yang dapat
mengikat hemoglobin 200 kali lebih besar dari oksigen. Dengan terhirupnya CO,
maka molekul oksigen digantikan dan CO secara reversible berikatan dengan
hemoglobin sehingga membentuk carboxyhemoglobin (COHb). Hipoksia jaringan dapat
terjadi akibat penurunan secara menyeluruh pada kemampuan pengantaran oksigen
dalam darah. Kadar COHb dapat dengan mudah dimonitor melalui kadar serum darah.
Manifestasi dari keracunan CO adalah:
(1)
Kadar CO 5-10% : gangguan tajam penglihatan
(2)
Kadar CO 11-20% : nyeri kepala
(3)
Kadar CO 21-30% : mual, gangguan ketangkasan
(4)
Kadar CO 31-40% : muntah, dizines, sincope
(5)
Kadar CO 40-50% : takipnea, takikardi
(6)
Kadar CO > 50% : coma, kematian
2.5
Fase luka bakar
Menurut
Musliha (2010), fase luka bakar terbagi menjadi tiga fase :
- Fase akut
Disebut fase
awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan mengalami ancaman gangguan
airway (jalan nafas), breathing (mekanisme bernafas), circulation (sirkulasi).
Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat
setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat
cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab
kematian utama penderita pada fase akut.Pada fase akut sering terjadi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera termal yang berdampak
sistemik.
- Fase sub akut
Berlangsung
setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau
kehilangan jaringan akibat kontak dengan sumber panas. Luka yang terjadi
menyebabkan:
1)
Proses inflamasi dan infeksi
2)
Problem penutupan luka
3)
Keadaan hipermetabolisme
- Fase lanjut
Fase lanjut
akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan
fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah
penyulit berupa parut yang hipertropik, kleoid, gangguan pigmentasi, deformitas
dan kontraktur.
2.6
Zona luka bakar
Menurut
Moenadjat (2009), Jackson membedakan tiga area pada luka bakar, yaitu:
- Zona koagulasi, zona nekrosis
Daerah yang
mengalami kontak langsung.Kerusakan jaringan berupa koagulasi (denaturasi)
protein akibat pengaruh trauma termis.Jaringan ini bersifat non vital dan dapat
dipastikan mengalami nekrosis beberapa saat setelah kontak, karenanya disebut
juga zona nekrosis.
- Zona statis
Daerah di
luar/sekitar dan langsung berhubungan dengan zona koagulasi.Kerusakan yang
terjadi di daerah ini terjadi karena perubahan endotel pembuluh darah,
trombosit, dan respon inflamasi lokal; mengakibatkan terjadinya gangguan
perfusi (no flow phenomena).Proses tersebut biasanya berlangsung dalam
12-24 jam pasca trauma; mungkin berakhir dengan zona nekrosis.
- Zona hiperemia
Daerah di
luar zona statis.Di daerah ini terjadi reaksi berupa vasodilatasi tanpa banyak
melibatkan reaksi sel. Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona
ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan; atau berubah menjadi zona kedua
bahkan zona pertama (perubahan derajat luka yang menunjukkan perburukan disebut
degradasi luka).
Gambar 2.1
zona luka bakar
2.7
Kedalaman luka bakar
Menurut
Kahan & Raves (2011) :
Derajat
|
Lokasi
yang terlibat
|
Karakteristik
|
Perkembangan
klinis
|
Terapi
|
Derajat 1
atau ketebalan partial superfisial
|
Epidermis
|
Eritema
& nyeri
|
Sembuh
dalam waktu 3-4 hari tanpa pembentukan jaringan parut. Sel-sel epidermis yang
mati mengalami deskuamasi (mengelupas).
|
Lotion dan
obat anti inflamasi non steroid
|
Derajat 2
atau ketebalan partial - superfisial - dalam
|
Melewati
epidermis dan sampai ke dermis
|
Merah
muda/merah/mengeluarkan cairan, pembengkakan dan lepuh, sangat nyeri
|
Luka bakar
dermis superfisial sembuh dalam waktu 1 minggu tanpa pembentukan jaringan
parut atau gangguan fungsional. Luka bakar dermis yang dalam sembuh dalam
waktu3-8 minggu tetapi disertai dengan pembentukan jaringan parut yang
beratdan gangguan fungsi
|
Dilakukan
eksisi dan graft pada luka bakar dermis yg dalam
|
Derajat 3
atau ketebalan penuh
|
Semua
lapisan melewati dermis
|
Putih atau
hitam, seperti beludru, seperti lilin, tidak nyeri
|
Luka bakar
hanya dapat sembuh dengan cara migrasi epitelial dari perifer dan kontraksi.
Kecuali luka bakar berukuran kecil, luka bakar ini memerlukan tindakan graf.
|
Dilakukan
eksisi dan graf
|
2.8
Luas luka bakar
Luas luka
bakar pada dewasa dihitung menggunakan rumus sembilan (Rule of nine)
yang diprovokasi oleh Wallace, yaitu:
Kepala dan
leher
: 9%
Lengan
masing-masing
9%
: 18%
Badan depan
18%, badan belakang
18% : 36%
Tungkai
masing-masing
18%
: 36%
Genitatalia/perinium
: 1%
Total
: 100%
Pada
anak-anak menggunakan tabel dari lund atau Browder yang mengacu pada
ukuran bagian tubuh terbesar pada seorang bayi/anak (yaitu kepala) (Moenadjat,
2009).
Usia
(tahun)
|
0
|
1
|
5
|
10
|
15
|
dws
|
A-kepala
(muka-belakang)
|
9 ½
|
8 ½
|
6 ½
|
5 ½
|
4 ½
|
3 ½
|
B-1 paha
(muka belakang)
|
2 ¾
|
3 ¼
|
4
|
4 ¼
|
4 ½
|
4 ¾
|
C-1 kaki
(muka-belakang)
|
2 ½
|
2 ½
|
2 ¾
|
3
|
3 ¼
|
3 ½
|
Gambar
2.1 skema pembagian luas luka bakar
2.9
Berat ringanya luka bakar
- Berat ringan luka bakar, ditinjau dari kedalaman dan kerusakan jaringan berdasarkan penyebab dan lama kontak (Pujilestari, 2007).
1)
Penyebab
Kerusakan
jaringan disebabkan api lebih berat dibandingkan air panas, kerusakan jaringan
akibat bahan yang bersifat koloid (misalnya bubur panas) lebih berat
dibandingkan air panas. Ledakan selain menimbulkan luka bakar, juga menyebabkan
kerusakan organ dalam akibat daya ledak (eksplosif). Bahan kimia, terutama
menyebabkan kerusakan yang hebat akibat reaksi jaringan sehingga terjadi diskonfigurasi
jaringan yang menyebabkan gangguan proses penyembuhan.
2)
Lama kontak
Lama kontak
jaringan dengan sumber panas menentukan luas dan kedalama kerusakan jaringan.
Semakin lama waktu kontak, semakin luas dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi
- Berat ringanya luka bakar menurut American college of soergeon:
1)
Parah-critical:
Tingkat II
: 30% atau
lebih
Tingkat
III : 10% atau
lebih
Tingkat
III : pada tangan,
kaki dan wajah
Dengan
adanya komplikasi pernapasan, jantung, fraktur, soft tissue yang luas
2)
Sedang-moderate
Tingkat II
: 15-30%
Tingkat
III : 1-10%
3)
Ringan-minor
Tingkat
II :
kurang 15%
Tingkat
III : kurang 1 %
2.10
Pentalaksanaan
- Penatalaksanaan luka bakar
1)
Pertolongan pertama saat kejadian menurut Sjamsuhidayat (2010)
(1)
Luka bakar suhu atau thermal
Upaya
pertama saat terbakar adalah mematikan api pada tubuh, misalnya dengan
menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar dengan kain basah. Atau korban
dengan cepat menjatuhkan diri dan berguling-guling agar bagian pakaian yang
terbakar tidak meluas. Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat
diakhiri, misalnya dengan mencelupkan bagian yang terbakar atau menyelupkan
diri ke air dingin atau melepas baju yang tersiram air panas.
Pertolongan
pertama setelah sumber panas dihilangkan adalah merendam daerah luka bakar
dalam air mengalir selama sekurang-kurangnya lima belas menit. Upaya
pendinginan ini, dan upaya mempertahankan suhu dingin pada jam pertama akan
menghentikan proses koagulasi protein sel dijaringan yang terpajan suhu tinggi
yang akan terlangsung walaupun api telah dipadamkan, sehingga destruksi tetap
meluas.
(2)
Luka bakar kimia
Baju yang
terkena zat kimia harus segera dilepas. Sikap yang sering mengakibatkan keadaan
lebih buruk adalah menganggap ringan luka karena dari luar tampak sebagai
kerusakan kulit yang hanya kecoklatan, padahal daya rusak masih terus menembus
kulit, kadang sampai 72 jam.
Pada umumnya penanganan dilakukan dengan mengencerkan zat kimia secara masif yaitu dengan mengguyur penderita dengan air mengalir dan kalau perlu diusahakan membersihkan pelan-pelan secara mekanis. Netralisasi dengan zat kimia lain merugikan karena membuang waktu untuk mencarinya, dan panas yang timbul dari reaksi kimianya dapat menambah kerusakan jaringan.
Pada umumnya penanganan dilakukan dengan mengencerkan zat kimia secara masif yaitu dengan mengguyur penderita dengan air mengalir dan kalau perlu diusahakan membersihkan pelan-pelan secara mekanis. Netralisasi dengan zat kimia lain merugikan karena membuang waktu untuk mencarinya, dan panas yang timbul dari reaksi kimianya dapat menambah kerusakan jaringan.
Sebagai
tindak lanjut, kalau perlu dilakukan resusitasi, perbaikan keadaan umum, serta
pemberian cairan dan elektrolit.
Pada
kecelakaan akibat asam fluorida, pemberian calsium glukonat 10% dibawah
jaringan yang terkena, bermanfaat mencegah ion fluor menembus jaringan dan
menyebabkan dekalsifikasi tulang. Ion fluor akan terikat menjadi kalsium
fluorida yang tidak larut. Jika ada luka dalam, mungkin diperlukan
debridemen yang disusul skin grafting dan rekonstruksi.
Pajanan zat
kimia pada mata memerlukan tindakan darurat segera berupa irigasi dengan air
atau sebaiknya larutan garam 0,9% secara terus menerus sampai penderita
ditangani di rumah sakit.
(3)
Luka bakar arus listrik
Terlebih
dahulu arus listrik harus diputus karena penderita mengandung muatan listrik
selama masih terhubung dengan sumber arus. Kemudian kalau perlu, dilakukan
resusitasi jantung paru. Cairan parenteral harus diberikan dan umumnya
diperlukan cairan yang lebih banyak dari yang diperkirakan karena kerusakan
sering jauh lebih luas. Kadang luka bakar di kulit luar tampak ringan,
tetapi kerusakan jaringan ternyata lebih dalam. Kalau banyak terjadi kerusakan
otot, urin akan berwarna gelap karena mengandung banyak mioglobin dan
resusitasi pasien ini mengharuskan pengeluaran urin 75-100ml per jam. Selain
itu, urin harus dirubah menjadi basa dengan natrium bikarbonat intravena, yang
menghalangi pengendapan mioglobulin. Bila urin tidak segera bening atau
pengeluaran urin tetap rendah, walaupun sudah diberikan sejumlah besar cairan,
maka harus diberikan diuretik yang kuat bersama manitol. Pada penderita cedera
otot yang masif, dosis manitol (12,5 gram per dosis) mungkin diperlukan selama
12-24 jam. Pasien yang gagal berespon terhadap dosis diatas mungkin membutuhkan
amputasi anggota gerak gawat darurat atau pembersihan jaringan nonviabel.
Otot
jantung, juga rentan trauma arus listrik. Elektrokardiogram (EKG) harus
dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan jantung dan pemantauan jantung yang
terus menerus dilakukan untuk mendiagnosis dan merawat aritmia. Kerusakan
neurologi juga sering terjadi, terutama pada medulla spinalis, tetapi sulit
dilihat, kecuali bila dilakukan tes elektrofisiologi. Pengamatan cermat atas abdomen
perlu dilakukan pada tahap segera setelah cedera karena arus yang melewati
kavitas peritonealis dapat menyebabkan kerusakan saluran pencernaan.
(4)
Luka bakar radiasi
Pada
kontaminasi lingkungan, penolong dapat terkena radiasi dari kontaminan sehingga
harus menggunakan pelindung. Prinsip penolong penderita atau korban radiasi
adalah memakai sarung tangan, masker, baju pelindung, dan detektor sinar
ionisasi. Sumber kontaminasi harus dicari dan dihentikan, dan benda yang
terkontaminasi dibersihkan dengan air sabun, deterjen atau secara mekanis
disimpan dan dibuang di tempat aman.
Keseimbangan
cairan dan elektrolit penderita perlu dipertahankan. Selain itu, perlu
dipikirkan kemungkinan adanya anemia, leukopenia, trombositopenia, dan
kerentanan terhadap infeksi. Sedapat mungkin tidak digunakan obat-obatan yang
menekan fungsi sumsum tulang.
2)
Penatalaksanaan ABC (airway, breathing, circulation)
(1)
Airway
Menurut
Moenadjat (2009), Membebaskan jalan nafas dari sumbatan yang terbentuk akibat
edema mukosa jalan nafas ditambah sekret yang diproduksi berlebihan
(hiperekskresi) dan mengalami pengentalan. Pada luka bakar kritis disertai
trauma inhalasi, intubasi (pemasangan pipa endotrakeal) dan atau
krikotiroidektomi emergensi dikerjakan pada kesempatan pertama sebelum dijumpai
obstruksi jalan nafas yang dapat menyebabkan distres pernafasan. Pada luka
bakar akut dengan kecurigaan trauma inhalasi. Pemasangan pipa nasofaringeal,
endotrakeal merupakan prioritas pertama pada resusitasi, tanpa menunggu adanya
distres nafas. Baik pemasangan nasofaringeal, intubasi dan atau
krikotiroidektomi merupakan sarana pembebasan jalan nafas dari sekret yang
diproduksi, memfasilitasi terapi inhalasi yang efektif dan memungkinkan lavase
bronkial dikerjakan. Namun pada kondisi sudah dijumpai obstruksi,
krikotiroidektomi merupakan indikasi dan pilihan.
- Pemasangan pipa Nasofaringeal
Pipa nasal
merupakan pipa bulat lunak yang sesuai dengan anatomi nares, nasofaring dan
hipofaring. Ia dimasukkan melalui satu atau kedua nares sehingga ujungnya
mencapai tepat di atas epiglotis. Pipa nasal mempunyai keuntungan karena bisa
dipasang pada penderita yang masih mempunyai reflek muntah tanpa menyebabkan
muntah.
(2)
Breathing
Moenadjat
(2009), Pastikan pernafasan adekuat dengan :
- Pemberian oksigen
Oksigen
diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret banyak, dapat ditambah
menjadi 4-6 L/menit. Dosis ini sudah mencukupi, penderita trauma inhalasi
mengalami gangguan aliran masuk (input) oksigen karena patologi jalan nafas;
bukan karena kekurangan oksigen. Hindari pemberian oksigen tinggi (>10
L/mnt) atau dengan tekanan karena akan menyebabkan hiperoksia (dan barotrauma)
yang diikuti terjadinya stres oksidatif.
- Humidifikasi
Oksigen
diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap air adalah untuk mengencerkan
sekret kental (agar mudah dikeluarkan) dan meredam proses inflamasi mukosa.
- Terapi inhalasi
Terapi
inhalasi menggunakan nebulizer efektif bila dihembuskan melalui pipa
endotrakea atau krikotiroidektomi. Prosedur ini dikerjakan pada kasus trauma
inhalasi akibat uap gas atau sisa pembakaran bahan kimia yang bersifat toksik
terhadap mukosa. Dasarnya adalah untuk mengatasi bronko konstriksi yang
potensial terjadi akibat zat kimia. Gejala hipersekresi diatasi dengan
pemberian atropin sulfas dan mengatasi proses infalamasi akut menggunakan
steroid.
- Lavase bronkoalveolar
Prosedur
lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan untuk mengatasi permasalahan yang
timbul pada mukosa jalan nafas dibandingkan tindakan humidifier atau nebulizer.
Sumbatan oleh sekret yang melekat erat (mucusplug) dapat dilepas dan
dikeluarkan. Prosedur ini dikerjakan menggunakan metode endoskopik
(bronkoskopik) dan merupakan gold standart. Selain bertujuan terapeutik,
tindakan ini merupakan prosedur diagnostik untuk melakukan evaluasi jalan
nafas.
- Rehabilitasi pernafasan
Proses
rehabilitasi sistem pernafasan dimulai seawal mungkin. Beberapa prosedur
rehabilitasi yang dapat dilakukan sejak fase akut antara lain:
-
Pengaturan posisi
-
Melatih reflek batuk
-
Melatih otot-otot pernafasan.
Prosedur ini
awalnya dilakukan secara pasif kemudian dilakukan secara aktif saat hemodinamik
stabil dan pasien sudah lebih kooperatif
- Penggunaan ventilator
Penggunaan
ventilator diperlukan pada kasus-kasus dengan distresparpernafasan secara
bermakna memperbaiki fungsi sistem pernafasan dengan positive end-expiratory
pressure (PEEP) dan volume kontrol.
(3)
Circulation
Menurut
Djumhana (2011), penanganan sirkulasi dilakukan dengan pemasangan IV line
dengan kateter yang cukup besar, dianjurkan untuk pemasangan CVP untuk
mempertahankan volume sirkulasi
- Pemasangan infus intravena atau IV line dengan 2 jalur menggunakan jarum atau kateter yang besar minimal no 18, hal ini penting untuk keperluan resusitasi dan tranfusi, dianjurkan pemasangan CVP
- Pemasangan CVP (Central Venous Pressure)
Merupakan
perangkat untuk memasukkan cairan, nutrisi parenteral dan merupakan parameter
dalam menggambarkan informasi volume cairan yang ada dalam sirkulasi. Secara
sederhana, penurunan CVP terjadi pada kondisi hipovolemia. Nilai CVP yang tidak
meningkat pada resusitasi cairan dihubungkan dengan adanya peningkatan
permeabilitas kapiler. Di saat permeabilitas kapiler membaik, pemberian cairan
yang berlebihan atau penarikan cairan yang berlebihan akibat pemberian koloid
atau plasma akan menyebabkan hipervolemia yang ditandai dengan terjadinya
peningkatan CVP.
3)
Melepaskan penghalang
Tujuan
melakukan penilaian serta mencegah terjadinya konstriksi sekunder akibat edema
4)
Resusitasi cairan
Menurut
Sunatrio (2000), pada luka bakar mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler
yang akan diikuti dengan ekstrapasasi cairan (plasma protein dan elektrolit)
dari intravaskuler ke jaringan interstisial mengakibatkan terjadinya
hipovolemik intravaskuler dan edema interstisial. Keseimbangan tekanan
hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga sirkulasi kebagian distal terhambat,
menyebabkan gangguan perfusi sel atau jaringan atau organ.
Pada luka
bakar yang berat dengan perubahan permeabilitas kapiler yang hampir menyeluruh,
terjadi penimbunan cairan massif di jaringan interstisial menyebabkan kondisi
hipovolemik. Volume cairan intravaskuler mengalami defisit, timbul
ketidakmampuan menyelenggarakan proses transportasi oksigen ke jaringan.
Keadaan ini dikenal dengan sebutan syok. Syok yang timbul harus diatasi dalam
waktu singkat, untuk mencegah kerusakan sel dan organ bertambah parah, sebab
syok secara nyata bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian.
Beberapa
penelitian membuktikan bahwa penatalakannan syok dengan menggunakan metode
resusitasi cairan konvensional (menggunakan regimen cairan yang ada) dengan
penatalaksanaan syok dalam waktu singkat, menunjukan perbaikan prognosis,
derajat kerusakan jaringan diperkecil (pemantauan kadar asam laktat), hipotermi
dipersingkat dan koagulatif diperkecil kemungkinannya, ketiganya diketahui
memiliki nilai prognostik terhadap angka mortalitas. Pada penanganan perbaikn
sirkulasi pada luk bakar dikenal beberapa formula berikut:
(1)
Evans formula
(2)
Brooke formula
(3)
Parkland formula
(4)
Modifikasi Brooke
(5)
Monafo formula
Formula
|
Cairan 24
jam pertama
|
Kristaloid
pada 24 jam kedua
|
Koloid
pada 24 jam kedua
|
Evans
|
Larutan saline
1 ml/kg/%LB, 2000 ml D5W*, dan koloid 1 ml/ kg / %LB
|
50% volume
cairan 24 jam pertama + 2000 ml D5W
|
50% volume
cairan 24 jam pertama
|
Brooke
|
RL 1.5 ml
/ kg / %LB, koloid 0.5 ml / kg/ %LB, dan 2000 ml D5W
|
50% volume
cairan 24 jam pertama + 2000 ml D5W
|
50% volume
cairan 24 jam pertama
|
Parkland
|
RL 4
ml / kg / %LB
|
20-60%
estimate plasma volume
|
Pemantauan
output urine 30 ml/jam
|
Modified
Brooke
|
RL 2 ml /
kg / %LB
|
||
Monafo
hypertonic demling
|
250 mEq/L saline
pantau output urine 30 ml/jam, dextran 40 dalam lar. saline 2
ml/kg/jam untuk 8 jam, RL pantau output urine 30 ml/jam, dan fresh
frozen plasma 0.5 ml/jam untuk 18 jam dimulai 8 jam setelah terbakar.
|
1/3
lar. Saline, pantau output urine
|
.
METODE
BAXTER
Menurut
Moenadjat (2009), metode resusitasi ini mengacu pada pemberian cairan
kristaloid dalam hal ini Ringer Laktat (karena mengandung elektrolit dengan
komposisi yang lebih fisiologis dibandingkan dengan Natrium Klorida) dengan
alasan; cairan saja sudah cukup untuk mengantikan cairan yang hilang
(perpindahan ke jaringan interstisium), pemberian kristaloid adalah tindakan
resusitasi yang paling fifiologis dan aman
Hari pertama
Dewasa
: Ringer laktat 4cc x berat badan x %luas luka bakar per 24jam
Anak
: Ringer laktat : Dextran = 17:3
2cc x berat badan x % luas luka bakar ditamah kebutuhkan faal
Kebutuhan
faal :
<1
tahun : BB x 100cc
1-3
tahun : BB x 75cc
3-5
tahun : BB x 50cc
½ jumlah
cairan diberikan alam 8 jam pertama
½ diberikan
16 jam berikutnya
Hari kedua
Dewasa
: dextran 500-2000 cc + D5%
Albumin
(3xX) x 80 x berat badan g/hari
(Albumin 25
% = Gram x 4cc)
1cc/menit
Anak
: diberi sesuai kebutuhan faal
Protocol
resesitasi :
Kebutuhan
cairan dalam 24 jam pertama adalah 4 ml/kg/% luas luka bakar, pemberian
berdasarkan pedoman berikut
Pedoman
- Separuh kebutuhan diberikan dalam 8 jam I (dihitung mulai saat kejadian luka bakar)
- Separuh kebutuhan diberikan dalam 16 jam sisanya
Contoh resusitasi cairan pada luka bakar
menurut Hettiaratchy & papini (2004) :
Seorang
laki-laki 25 tahun dengan berat 70 kg dengan luka bakar 30% datang ke UGD pukul
16.00. Pasien mengalami kejadian sekitar pukul 15.00.
- Total cairan yang diberikan untuk 24 jam pertama adalah :
4ml x (30%
total burn surface area) x (70kg) = 8400 ml dalam 24 jam.
Total cairan
ini diberikan setengah pada 8 jam pertama dan setengah lagi pada 16
jam berikutnya.
- Perhitungan kecepatan infus perjam untuk 8 jam pertama adalah:
Bagi cairan
pada point (a) dengan sisa waktu sampai 8 jam setelah pasien terbakar (pukul
15.00).
Kebakaran
terjadi pada pukul 15.00, jadi 8 jam kedepan jatuh pada pukul 23.00. datang ke
UGD pukul 16.00, jadi dibutuhkan 4200 ml selama 7 jam kedepan:
4200cc/7 =
600 cc/jam dari pukul 16.00 sampai pukul 23.00,
- Perhitungan kecepatan infus perjam untuk 16 jam kedua adalah
4200cc/16
= 262 cc/jam dari pukul 23.00 sampai pukul 15.00
(1)
Monitoring dalam fase resusitasi (sampai 72 jam)
Menurut
Sjaifudin (2006)
- Mengukur urin produksi. Urin produksi dapat sebagai indikator apakah resusitasi cukup adekuat atau tidak. Pada orang dewasa jumlah urin 30-50 cc urin/jam.
- Berat berat jenis urin, pasca trauma luka bakar berat jenis dapat normal atau meningkat. Keadaan ini dapat menunjukkan keadaan hidrasi penderita. Keadaan ini dapat menunjukkan keadaan hidrasi penderita. Bilamana berat jenis meningkat berhubungan dengan naiknya kadar glukosa urin.
- Vital sign
Manifestasi
klinis pada penggantian cairan yang adekuat
(1)
Tekanan darah normal sampai batas tinggi
(2)
Frekuensi nadi < 120 x/menit
(3)
TVS < 12 cm H2O
(4)
Tekanan darah kapiler pulmonal < 18 mmhg
- PH darah
- Perfusi perifer
Hal lain
yang harus diperhatikan selama fase resusitasitatif adalah perfusi aringan.
Dengan cedera jaringan, pembuluh-pmbuluh menjadi rusak an terjadi thrombosis.
Pembuluh utuh yang berdekatan segera melebar, dan platelet serta leukosit
melekat pada endotel vaskuler, menyebabkan pembentukan keropeng.Jaringan yang
mendasari membengkak, tetapi daerah pinggiran luka bakar dengan ketebalan penuh
adalah takelastik dan tetap kontraktur. Keropeng mempengaruhi perlemahan status
vaskuler dengan nekrosis iskemik, yang ahirnya akanmemerlukan amputasi. Ini
sangat vital, oleh karena itu, perawat memantau perfusi jaringan setiap jam
dengan memeriksa arus balik kapiler, perubahan-perbahan neurologis, suhu, warna
kulit, serta adanya nadi perifer.Ekstremitas harus ditinggikan dan jaga agar
dalam batas gerak pasif sedikitnya 5 menit perjam untuk mencegah edema dan
mobilisasi yang memang berakumulasi.
- Laboratorium (Serum elektrolit, Plasma albumin, Hemaktokrit, hemoglobin, Urine sodium, Elektrolit, Renal fungsion test, Total protein atau albumin, Pemeriksaan lain sesuai indikasi)
- Penilaiaan keadaan paru
Pemeriksaan
kondisi paruperlu diobservasi tiap jam untuk mengetahui adanya perubahan yang
terjadi antara lain stridor, bronkhospam, adanya sekret, wheezing, atau
dispnue merupakan adanya impending obstruksi.
- Penilaian gastrointestinal
Monitoring
gastrointestinal setiap 2-4 jam dengan melakukan auskultasi untuk mengetahui
bisisng usus dan pemeriksaan sekresi lambung. Adanya darah dan PH kurang dari 5
merupakan tanda adanya Culing’s ulcer.
- Penilaian luka bakarnya
Bila
dilakukan perawatan tertutup, dinilai apakah kasa basah, ada cairan berbau atau
ada tanda-tanda pus maka kasa perlu diganti. Bila bersih perawatan selanjutnya
dilakukan 5 hari kemudian.
Formula
resusitasi berkenaaan dengan perkiraan, dan haluaran urin dan tekanan darah
harus dipantau per jam untuk mengevaluasi respon terhadap tindakan.Haluaran
urin adalah indicator tunggal terbaik dari resusitasi cairan pada pasien dengan
fungsi ginjal sebelumnya normal.Pasien biasanya ditimbang setiap
hari.Penambahan berat badan15% dari berat pertama masuk rumah sakit dapat
terjadi.Masukan dan haluaran urin harus dipantau dengan cermat.Awitan dieresis
spontan adalah tanda yang menunjukkan akhir dari fase resusitatif. Kecepatan
infuse harus diturunkan sampai 25% dalam satu jam jika haluaran urin memuaskan
da dapat dipertahankan selama dua jam, penuruna dapat diturunkan kemudian.
Adalah penting bahwa haluaran urin dipertahankan dalam batas normal (50-70
ml/jam).
5)
Fluid Creep Phenomena
Dalam dekade
terakhir, resusitasi cairan pada pasien luka bakar telah dilakukan sebagai
proses yang rutin; kebanyakan klinisi menggunakan rumus Parkland dalam 24 jam
pertama untuk menyesuaikan volume cairan yang diberikan.Sesuai dengan variasi
situasi pada pasien luka bakar, penggunaan volume cairan yang berlebih
cenderung terjadi untuk meningkatkan pengeluaran urin.Pemberian cairan yang
berlebihan dapat mengakibatkan komplikasi edema yang dikenal dengan fenomena
"fluid creep".Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk optimasi
titrasi dan jenis cairan yang digunakan, seperti pemakaian koloid atau larutan
garam hipertonik.Tujuannya adalah untuk menurunkan kebutuhan volume cairan dan
terjadinya edema.Penelitian saat ini tentang resusitasi cairan pasien luka
bakar berkonsentrasi padapendekatan untuk meminimalisir fenomena "fluid
creep" dengan memperketat kontrol cairan intravena.Formula Parkland
sebaiknya hanya digunakan sebagai panduan dalam pemberian cairan.Untuk
selanjutnya harus dilakukan penyesuaian pada volume dan kecepatan cairan
intravena sesuai dengan respon pasien. Banyak penelitian menunjukkan
perbandingan antara pemakaian kristaloid dan koloid pada 24 jam pertama setelah
kejadian luka bakar. Saat ini, masih terdapat perdebatan penentuan waktu yang
tepat untuk pemakaian cairan koloid untuk resusitasi. Bagaimanapun, penggunaan
albumin 5% dalam 24 jam kedua dapat dipertimbangkan sebagai alternatif yang
bisa diterima (Septrisa, 2012)
6)
Penatalaksanaan pencegahan infeksi
Menurut
Hudak & Gallo (2000), ketika kestabilan hemodinamik dan pulmonal telah
tercapai, perhatian ditujukan pada perawatan awal luka bakar.
Menurut
Moenadjat (2009), Infeksi luka yang berkembang menjadi sepsis menjadi topik
yang banyak dibahas dan merupakan penyebab kematian pada luka bakar.
Konsekuensinya penggunaan antibiotika dalam penatalaksanaan luka bakar menjadi
sesuatu kebutuhan yang mutlak. Tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan
mengatasi infeksi terdiri dari beberapa rangkaian, yaitu:
(1)
Tindakan aseptic
Yang
dimaksud dengan tindakan aseptik adalah serangkaian perlakuan yang diterapkan
dan mencerminkan upaya mencegah infeksi, dengan cara:
- Mengupayakan ruang perawatan dalam kondisi aseptik. Hal ini diupayakan melalui beberapa cara termasuk desain ruangan yang memungkinkan ventilasi laminar berlangsung layaknya sebuah ruang operasi, penerapan sistem positive air preasure air filter, termasuk perawatan yang bertalian dengan proses desinfeksi ruangan, dll.
- Linen dan bahan lain yang steril
- Penggunaan perangkat khusus seperti baju (piyama), skort, topi, masker, alas-kaki, pencucian tangan, penggunaan sarung tangan, dll. Hal ini mencerminkan perilaku petugas sebagai digariskan dalam general precaution upaya mencegah infeksi .
(2)
Pencucian luka
- pencucian luka dilakukan menggunakan air yang disterilkan. Prinsip dilution is the best solution for pollution diterapkan.
- Pencucian luka dikerjakan saat penderita masuk ke unit luka bakar (dalam delapan jam pertama) dan dilakukan satu sampai dua kali dalam sehari sebelum dilakukan nekrotomi dan debridement.
- Tindakan nekrotomi dan debridement dilakukan bertujuan membuang eskar atau jaringan nekrosis maupun debris yang memicu respon inflamasi dan menghalangi proses penyembuhan luka karena berpotensi besar untuk berkembang menjadi fokus infeksi. Tindakan ini dilakukan seawal mungkin, dan dapat dilakukan tindakan ulangan sesuai kebutuhan. Yang dimaksud tindakan awal adalah dalam 3-4 hari pertama pasca trauma, saat konsistensi eskar masih padat dan belum mengalami lisis, eskar yang mengalami lisis memicu respon inflamasi sangat kuat dan sulit dilakukan. Pada prosedur ini, luka dicuci menggunakan larutan steril.
- Perawatan pasca nekrotomi dan debridement, luka dicuci setiap kali penggantian balutan.
(3)
Eskarotomi,
Meskipun
peninggian ekstrimitas dapat menurunkan edema, namun eskarotomi sering
diperlukan. Eskarotomi adalah insisi pada jaringan parut yang menebal sehingga
memungkinkan jaringan edematosa yang hidup di bawahnya melebar, dengan demikian
memulihkan perfusi jaringan yang adekuat. Eskarotomi dibuat pada garis
midlateral atau midmedial ekstrimitas yang terkait. Prosedur dilakukan di
tempat tidur, dan tidak memerlukan anestesi lokal. Tempat eskarotomi ditutupi
dengan agen topikal karena karena jaringan hidup terpajan, dan dipasang balutan
tipis. Biasanya prosedur ini diperlukan hanya pada cedera yang terjadi
lingkungan arus listrik bertegangan tinggi atau cedera hancur (Hudak, 1996).
(4)
Pemberian antibiotik
Pemberian
antibiotik secara umum dibedakan atas:
Tujuan :
profilaksis dan teraupetik
- Antibiotika profilaksis pada luka bakar
Secara umum
yang dimaksud dengan pemberian antibiotik profilaksis adalah pemberian
antibiotik sistemik bertujuan mencegah berkembangnya infeksi sebelum melakukan
sayatan tindakan pembedahan atau prosedur invasif lainnya. Antibiotik diberikan
melalui jalur intravena 30 menit sebelum tindakan untuk satu kali pemberian (single
dose). Jenis antibiotik yang diberikan didasari atas pola bakteri yang
didasari atas pola bakteri yang paling sering menimbulkan infeksi di rumah
sakit pada kurun waktu tertentu.
- Antibiotika teraupetik pada luka bakar
Pemberian
antibiotik sistemik yang ditujukan mengatasi infeksi yang timbul. Pemilihan
jenis antibiotik dilakukan berdasarkan hasil kultur mikroorganisme penyebab
infeksi dan memiliki sensitivitas terhadap mikroorganisme penyebab.
Pemberiannya diberikan sesuai dosis lazim.
7)
Amputasi
Menurut
Hudak & Gallo (1996), Indikasi amputasi apabila terdapat
(1)
Cedera otot masifakibat elektric injury disertai mioglobin pada urin yang gagal
berespon terhadap resusitasi cairan dan pemberian diuretic kuat serta manitol
(2)
Keropeng dengan perlemahan status vaskuler dengan nekrosis iskemik.
(3)
Infeksi yang meluas hingga mengenai sebagian besar anggota gerak
BAB 3
KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN LUKA BAKAR
PADA
KEPERAWATAN KRITIS
3.1
Pengkajian
- Anamnese
1)
Data Demografi
Nama, umur,
alamat, pekerjaan.
Umur :
Meskipun luka bakar terjadi pada semua kelompok umur, insidennya lebih tinggi
pada kedua kemompok ujung kontinum usia. Orang yang usianya lebih lebih muda
dari 2 tahun dan lebih tua dari 60 tahun mempunyai angka mortalitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya dengan keparahan luka bakar
yang sama. Seseorang yang berusia kurang dari 2 tahun akan lebih muda terkena
infeksi karena respon imun yang imatur, dan orang yang tua mengalami proses
degenaratif yang memperumit proses penyembuhan (Hudak dan Gallo, 1996)
2)
Keluhan utama :
Luas cedera
akibat dari intensitas panas (suhu) dan durasi pemajanan, jika terdapat trauma
inhalasi ditemukan keluhan stridor, takipnea, dispnea, dan pernafasan seperti
bunyi burung gagak (Kidd, 2010).
3)
Riwayat penyakit sekarang:
Mekanisme
trauma perlu diketahui karena ini penting, apakah penderita terjebak dalam
ruang tertutup, sehingga kecurigaan terhadap trauma inhalasi yang dapat
menimbulkan obstruksi jalan nafas. Kapan kejadiannya terjadi (Sjaifuddin,
2006).
4)
Riwayat penyakit masa lalu:
Penting
dikaji untuk menetukan apakah pasien mempunyai penyakit yang tidak melemahkan
kemampuan untuk mengatasi perpindahan cairan dan melawan infeksi (misalnya
diabetes mellitus, gagal jantung kongestif, dan sirosis) atau bila terdapat
masalah-masalah ginjal, pernapasan atau gastro intestinal. Beberapa masalah
seperti diabetes, gagal ginjal dapat menjadi akut selama proses pembakaran.
Jika terjadi cedera inhalasi pada keadaan penyakit kardiopulmonal (misalnya
gagal jantung kongestif, emfisema) maka status pernapasan akan sangat terganggu
(Hudak dan Gallo, 1996).
5)
Status kesehatan umum
Kaji tentang
kesadaran pasien, tnda-tanda vital (TTV), berat badan (BB), dan pemeriksaan
luka bakar (apakah termasuk luka bakar berat, sedang atau ringan)
(1)
Ditentukan luas luka bakar. Dipergunakan Rule of Nine untuk menentukan
luas luka bakarnya.
(2)
Ditentukan kedalaman luka bakar (derajat kedalaman)
(Sjaifuddin,
2006)
- Pemerikasaan fisik
1)
Breathing
Kaji adanya
tanda disteres pernapasan, seperti rasa tercekik, tersedak, malas bernafas,
atau adanya wheezing atau rasa tidak nyaman pada mata atu tenggorokan, hal ini
menandakan adanya iritasi pada mukosa.Adanya sesak napas atau kehilangan suara,
takipnea atau kelainan pada uaskultasi seperi krepitasi atau ronchi.
(Sjaifuddin, 2006)
2)
Blood
Pada luka
bakar yang berat, perubahan permiabilitas kapiler yang hampir menyeluruh,
terjadi penimbunan cairan massif di jaringan interstisial menyababkan kondisi
hipovolemik. Volume cairan intravascular mengalami defisit, timbul ketidak
mampuan menyelenggarakan proses transportasi oksigen kejaringan (syok).
Sjaifuddin (2006)
3)
Brain
Manifestasi
sistem saraf pusat karena keracunan karbon monoksida dapat berkisar dari sakit
kepala, sampai koma, hingga kematian (Huddak dan Gallok, 1996)
4)
Bledder
Haluaran
urin menurun disebabkan karena hipotensi dan penurunan aliran darah ke ginjal
dan sekresi hormone antideuretik serta aldosteron (Hudak dan Gallok, 1996)
5)
Bowel
Adanya
resiko paralitik usus dan distensi lambung bisa terjadi distensi dan mual.
Selain itu pembentukan ulkus gastrduodenal juga dikenal dengan Curling’s
biasanya merupakan komplikasi utama dari luka bakar (Hudak dan Gallok, 1996).
6)
Bone
Penderita
luka bakar dapat pula mengalami trauma lain misalnya mengalami patah tulang
punggung atau spine.
- Pemeriksaan penunjang
Menurut
Schwartz (2000) & Engram (2000), Kidd (2010) pemeriksaan diaknostik pada
penderita luka bakar meliputi :
1)
Pemeriksaan Laboratorium
(1)
Hitung darah lengkap, elektrolit dan profil biokimia standar perlu diperoleh
segera setelah pasien tiba di fasilitas perawatan.
(2)
Koagulasi memeriksa faktor-faktor pembekuan yang dapat menurun pada luka bakar
masif
(3)
Konsetrasi gas darah dan PO2 yang rendah (kurang dari 10 kPa pada konsentrasi
oksigen 50 %, FiO2= 0,5) mencurigakan adanya trauma inhalasi. PaO2 biasanya
normal pada fase awal, tetapi dapat meningkat pada fase lanjut.
(4)
Karboksihemoglobin perlu segera diukur oleh karena pemberian oksigen dapat
menutupi keparahan keracunan kerbon monoksida yang dialami penderita. Pada
trauma inhalasi, kadar COHb akan menurun setelah penderita menghirup udara
normal. Pada kadar COHb 35-45% (berat), bahkan setelah tiga jam dari kejadian
kadar COHb masih pada batas 20-25%. Bila kadar COHb lebih dari 15% setelah 3
jam kejadian ini merupakan bukti kuat adanya trauma inhalasi
(5)
Elektrolit serum mendeteksi ketidakseimbangan cairan dan biokimia. Ini terutama
penting untuk memeriksa kalium terhadap peningkatan dalam 24 jam pertama karena
peningkatan kalium dapat menyebabkan henti jantung.
(6)
Albumin serum, kadarnya mungkin rendah karena protein plasma terutama albumin
hilang ke dalam jaringan yang cedera sekunder akibat peningkatan permeabilitas
kapiler.
(7)
Urinalis menunjukkan mioglobin dan hemokromagen menandakan kerusakan otot pada
luka bakar ketebalan penuh luas.
(8)
BUN dan kreatinin mengkaji fungsi ginjal
(9)
Pemeriksaan penyaring terhadap obat-obatan, antara lain etanol, memungkinkan
penilaian status mental pasien dan antisipasi terjadinya gejala-gejala putus
obat.
1)
Rontgen dada : Semua pasien sebaiknya dilakukan rontgen dada, tekanan yang
terlalu kuat pada dada, usaha kanulasi pada vena sentralis, serta fraktur iga
dapat menimbulkan pneumothoraks atau hematorak. Pasien yang juga mengalami
trauma tumpul yang menyertai luka bakar harus menjalani pemeriksanaann
radiografi dari seluruh vertebrata, tulang panjang, dan pelvis
2)
Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap
3)
Elektrocardiogram : EKG terutama diindikasikan pada luka bakar listrik karena
disritmia jantung adalah komplikasi yang umum
4)
CT scan : menyingkirkan hemorargia intrakarnial pada pasien dengan penyimpangan
neurologik yang menderita cedera listrik.
1.1 DiagnosaKeperawatan
- Defisit volume cairan yang berhubungan dengan peningkatan permiabilitas kapiler, peningkatan tekanan hidrostatik kapiler, penurunan tekanan osmotic koloid kapiler, peningkatran kehilangan evaporative.
- Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi saluran nafas atas; oedema laring & hipersekresi mukus.
- Pertukaran gas yang berhubungan dengan cedera alveolar, keracunan karbon monoksida dan atau cedera inhalasi.
- Perubahan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan edema seluruh tubuh, jaringan avaskuler, penurunan haluaran jantung, dan hipovolemia.
- Nyeri berhubungan dengan stimulasi terhadap sensor nyeri yang terpajan.
- Kerusukan integritas kulit berhubungan dengan luka bakar, edema.
- Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit, pertahanan primer tidak adekuat.